Senin, 07 Mei 2012

Fenomena Senioritas di Kampus, Panutan atau Sok-sok an???


Mendengar kata senior pikiran kita langsung tertuju pada sosok mahasiswa semester atas atau mahasiswa yang memang dianggap senior di lingkungan kampus. Mahasiswa senior sering diidentikan dengan sosok mahasiswa seenaknya sendiri pada juniornya, sok berkuasa dan sok paling tahu tentang hal-hal yang ada di kampus.

Ya maklum saja, mereka (mahasiswa senior) menang lebih dulu menjadi mahasiswa di banding dengan para juniornya. Tapi, apakah dengan menyandang “gelar” senior lantas membuat mahasiswa bias berbuat seenaknya dengan semua juniornya??

Sebenarnya, perlu atau tidak senioritas dan apakah ada manfaatnya????

Definisi umum senior, istilah senior dan junior adalah hal-hal yang berkaitan dengan umur,tingkat pendidikan,wawasan, jabatan dan sebagainya. Kata ini sering sekali menjadi belenggu dan dilema yang membatasi seseorang untuk bergerak maju. Mari kita ambil contoh lingkungan pendidikan kita. Ada kalanya seorang siswa yang pintar tidak berani untuk menonjolkan diri karena ia “menghargai” para seniornya, padahal ia mampu dan bahkan bisa berbuat jauh lebih baik dari seniornya, atau, ada senior yang cenderung memaksakan kehendak kepada “bawahannya” untuk melakukan keinginannya, dan sang junior (bawahan) dengan terpaksa harus mau melakukannya. Apakah ini sebuah dogma dari tata krama yang ada di masyarakat kita atau ini sebuah keegoisan belaka? Jawaban pertanyaan ini kembali kepada kita semua.

            Di dalam pergaulan kampus, kita juga selalu dihadapkan pada kenyataan senioritas ini. Sebagai mahasiswa baru, kita sering dituntut untuk berada di bawah para senior yang telah terlebih dahulu berada disana. Dalam memberi pendapat, kita juga harus tidak boleh melanggar kepentingan mereka, dan bahkan kita malah terpaksa untuk mengikuti keinginan mereka padahal sebenarnya pendapat yang mereka ajukan tidak sesuai menurut kita. Bila kita berusaha untuk menolak atau melanggar ini, maka kita dianggap tidak memiliki rasa sopan santun. Mengapa masalah senioritas dikaitkan dengan sopan santun dan etika?

Ketika founding fathers memutuskan untuk membangun negeri ini menjadi bangsa yang modern, pada hakikatnya mereka sedang menggulirkan dialektika baru. Diputuskanlah dialektika baru itu adalah demokrasi sebagai pengganti dialektika lama “sistem feudal” yang dianggap sudah usang dan tak sanggup menjadi komandan dalam membangun negeri ini menjadi bangsa yang modern.
Akan tetapi, pengaruh budaya feodal yang notabene merupakan warisan leluhur masih sangat kuat melilit bangsa ini. Dialektika yang sebenarnya ingin ditinggalkan, telah mendarah daging sehingga sulit menanggalkannya. Akibatnya, dalam tataran perilaku politik dan ekonomi, kita masih bersikap dan mengacu pada nilai-nilai feodal. Para pemegang kekuasaan, masih menghayati kekuasaan sebagai amunisi ampuh untuk mengakumulasi kenikmatan pribadi, keluarga,dankawan-kawannya.

Di tengah ketidakberdayaan akan feodalisme, rakyat memimpikan sosok yang dapat membawa mereka keluar dari lembah nestapa itu penyebab kemunduran bangsa. Agen perubahan seperti mahasiswa sebenarnya menjadi pilihan utama. Namun, panggilan ini sepertinya tak digubrisnya sekaligus mencampakkan konstelasi keamanahannya sebagai pengayom bangsa. Fenomena senioritas dalam OSPEK menjadi sebabnya.

Fenomena senioritas memperlihatkan standar ganda pergerakan mahasiswa. Masih terpatri dalam ingatan, perjuangan mahasiswa yang ketika itu gundah gulana atas kondisi negerinya, berusaha keras membuka gerbang reformasi dengan maksud memudahkan penghujaman terselenggaranya pemerintahan dan kehidupan yang demokratis, yang dianggap sebagai prasyarat pengentasan permasalahan negerinya. Namun, di sisi lain, fenomena senioritas menjadi bukti tak terbantahkan terhadap sinyal pemupukan tesis feodalisme bak menjungkirbalikan antitesis demokrasi yang justru sering mereka suakan.

Standar ganda memang sepantasnya menohok harga diri mahasiswa yang dianugrahi masyarakat sebagai agen perubahan. Pasalnya, senioritas telah diluar ambang kewajaran. Tradisi balas dendam menjadi motivasi yang kasat mata namun menyeruak telanjang. Senior tak segan lagi mempraktikan aji mumpung paham kesempatan dalam kesempitan.

            Polemik ini memang memiliki dampak yang tidak kasat mata tapi akan terdapat efek gaung yang berakibat pada perubahan mental junior secara fundamental. Dunia kampus yang notabene sebagai tempat pembibitan calon intelektual harapan bangsa malah melahirkan manusia bermental kerdil yang mengsampingkan hati nurani dalam bertindak.

            Pengekangan budaya berani dan kritis mengakibatkan jurang pemisahan antara senior dan junior menganga lebar. Pasalnya, senior kerap memposisikan junior sebagai objek yang bisa diperlakukan seenaknya. Inilah barangkali perilaku senior-junior yang kebablasan. Pada akhirnya, OSPEK hanya menelurkan mahasiswa bermental apatis.

2 komentar:

Posting Komentar

 
;