Mendengar kata senior pikiran kita langsung
tertuju pada sosok mahasiswa semester atas atau mahasiswa yang memang dianggap
senior di lingkungan kampus. Mahasiswa senior sering diidentikan dengan sosok
mahasiswa seenaknya sendiri pada juniornya, sok berkuasa dan sok paling tahu
tentang hal-hal yang ada di kampus.
Ya maklum saja, mereka (mahasiswa senior)
menang lebih dulu menjadi mahasiswa di banding dengan para juniornya. Tapi,
apakah dengan menyandang “gelar” senior lantas membuat mahasiswa bias berbuat
seenaknya dengan semua juniornya??
Sebenarnya, perlu atau tidak senioritas dan
apakah ada manfaatnya????
Definisi umum senior, istilah senior dan
junior adalah hal-hal yang berkaitan dengan umur,tingkat pendidikan,wawasan, jabatan
dan sebagainya. Kata ini sering sekali menjadi belenggu dan dilema yang
membatasi seseorang untuk bergerak maju. Mari kita ambil contoh lingkungan
pendidikan kita. Ada kalanya seorang siswa yang pintar tidak berani untuk menonjolkan
diri karena ia “menghargai” para seniornya, padahal ia mampu dan bahkan bisa
berbuat jauh lebih baik dari seniornya, atau, ada senior yang cenderung
memaksakan kehendak kepada “bawahannya” untuk melakukan keinginannya, dan sang
junior (bawahan) dengan terpaksa harus mau melakukannya. Apakah ini sebuah
dogma dari tata krama yang ada di masyarakat kita atau ini sebuah keegoisan
belaka? Jawaban pertanyaan ini kembali kepada kita semua.
Di dalam pergaulan kampus, kita juga selalu dihadapkan pada kenyataan senioritas ini. Sebagai mahasiswa baru, kita sering dituntut untuk berada di bawah para senior yang telah terlebih dahulu berada disana. Dalam memberi pendapat, kita juga harus tidak boleh melanggar kepentingan mereka, dan bahkan kita malah terpaksa untuk mengikuti keinginan mereka padahal sebenarnya pendapat yang mereka ajukan tidak sesuai menurut kita. Bila kita berusaha untuk menolak atau melanggar ini, maka kita dianggap tidak memiliki rasa sopan santun. Mengapa masalah senioritas dikaitkan dengan sopan santun dan etika?
Ketika founding fathers memutuskan untuk
membangun negeri ini menjadi bangsa yang modern, pada hakikatnya mereka sedang
menggulirkan dialektika baru. Diputuskanlah dialektika baru itu adalah
demokrasi sebagai pengganti dialektika lama “sistem feudal” yang dianggap sudah
usang dan tak sanggup menjadi komandan dalam membangun negeri ini menjadi
bangsa yang modern.
Akan tetapi, pengaruh budaya feodal yang
notabene merupakan warisan leluhur masih sangat kuat melilit bangsa ini. Dialektika
yang sebenarnya ingin ditinggalkan, telah mendarah daging sehingga sulit
menanggalkannya. Akibatnya, dalam tataran perilaku politik dan ekonomi, kita
masih bersikap dan mengacu pada nilai-nilai feodal. Para pemegang kekuasaan,
masih menghayati kekuasaan sebagai amunisi ampuh untuk mengakumulasi kenikmatan
pribadi, keluarga,dankawan-kawannya.
Di tengah ketidakberdayaan akan feodalisme,
rakyat memimpikan sosok yang dapat membawa mereka keluar dari lembah nestapa
itu penyebab kemunduran bangsa. Agen perubahan seperti mahasiswa sebenarnya
menjadi pilihan utama. Namun, panggilan ini sepertinya tak digubrisnya
sekaligus mencampakkan konstelasi keamanahannya sebagai pengayom bangsa.
Fenomena senioritas dalam OSPEK menjadi sebabnya.
Fenomena senioritas memperlihatkan standar
ganda pergerakan mahasiswa. Masih terpatri dalam ingatan, perjuangan mahasiswa
yang ketika itu gundah gulana atas kondisi negerinya, berusaha keras membuka
gerbang reformasi dengan maksud memudahkan penghujaman terselenggaranya
pemerintahan dan kehidupan yang demokratis, yang dianggap sebagai prasyarat
pengentasan permasalahan negerinya. Namun, di sisi lain, fenomena senioritas
menjadi bukti tak terbantahkan terhadap sinyal pemupukan tesis feodalisme bak
menjungkirbalikan antitesis demokrasi yang justru sering mereka suakan.
Standar ganda memang sepantasnya menohok harga
diri mahasiswa yang dianugrahi masyarakat sebagai agen perubahan. Pasalnya,
senioritas telah diluar ambang kewajaran. Tradisi balas dendam menjadi motivasi
yang kasat mata namun menyeruak telanjang. Senior tak segan lagi mempraktikan
aji mumpung paham kesempatan dalam kesempitan.
Polemik ini memang memiliki dampak yang tidak kasat mata tapi akan terdapat efek gaung yang berakibat pada perubahan mental junior secara fundamental. Dunia kampus yang notabene sebagai tempat pembibitan calon intelektual harapan bangsa malah melahirkan manusia bermental kerdil yang mengsampingkan hati nurani dalam bertindak.
Pengekangan budaya berani dan kritis mengakibatkan jurang pemisahan antara senior dan junior menganga lebar. Pasalnya, senior kerap memposisikan junior sebagai objek yang bisa diperlakukan seenaknya. Inilah barangkali perilaku senior-junior yang kebablasan. Pada akhirnya, OSPEK hanya menelurkan mahasiswa bermental apatis.
Polemik ini memang memiliki dampak yang tidak kasat mata tapi akan terdapat efek gaung yang berakibat pada perubahan mental junior secara fundamental. Dunia kampus yang notabene sebagai tempat pembibitan calon intelektual harapan bangsa malah melahirkan manusia bermental kerdil yang mengsampingkan hati nurani dalam bertindak.
Pengekangan budaya berani dan kritis mengakibatkan jurang pemisahan antara senior dan junior menganga lebar. Pasalnya, senior kerap memposisikan junior sebagai objek yang bisa diperlakukan seenaknya. Inilah barangkali perilaku senior-junior yang kebablasan. Pada akhirnya, OSPEK hanya menelurkan mahasiswa bermental apatis.
2 komentar:
nice post..
Nice
Posting Komentar